Jadikan Aku Yang Terakhir



Jadikan Aku Yang Terakhir

Sudah 2 jam aku menunggu di bioskop sendirian, namun sosok yang aku tunggu tidaklah muncul juga. Aku menunggu hingga jam 10 malam dimana bioskop akan tutup namun dia tidaklah muncul pula. Hingga akhirmya aku memutuskan untuk pulang, saat aku berjalan pulang ada suara memanggil namaku “Alza!” aku pun menoleh dan orang yang memanggil namaku lah orang yang aku tunggu sejak 3 jam yang lalu. Aku tersenyum merespon panggilannya, dia pun berlari ke arahku “maafin aku, aku telat menemui kamu. Aku tau aku salah, maafin aku Za” perasaanku tidak marah ataupun kecewa kepada cowok yang sedang berada di depanku ini “nggak papa Sat, yang penting sekarang kamu udah ada dihadapanku saat ini” aku pun tersenyum hangat kepadanya.
“Untuk menebus rasa salah ku, ayo kita makan atau kita jalan-jalan kemanapun kamu mau Za”
“Nggak usah Sat, besok lagi aja jalan-jalannya. Aku saat ini lelah sekali, aku ingin istirahat” kataku sambil tersenyum hangat. Namun, kulihat perasaan bersalah sangat tertancap kuat pada raut muka Satria. Aku pun memegang wajahnya ”Aku nggak papa Sat, udah nunggu lama lagian aku nunggunya dengan perasaan seneng kok, yang penting sekarang kamu udah ada dihadapanku dan menemui aku saat ini”
“Maafin aku Za, aku sering ngelupain kamu. Aku minta maaf Za” dia lalu memelukku erat, dengan persaan penuh dengan rasa bersalah.
“Iya sayaang aku nggak papa kok” aku pun melepasakan pelukkan eratnya. “Ayo, kita pulang aku lelah ingin istirahat”
Satria menggenggam tanganku dengan eratnya, kami berjalan menyusuri malam dengan ditemani oleh cahaya-cahaya lampu di kanan kiri terotoar yang kami lewati. Satria adalah pacarku sejak 1 tahun lalu, aku sangat menyayanginya aku tak ingin pergi darinya. Kami memulai hubungan dari kelas 1 SMA. Aku tak pernah merasa kecewa sekalipun dia telah melakukan kesalahan padaku. Tak ada perasaan marah saat dia mengingkari janjinya untuk berkencan denganku. Tak ada perasaan benci saat dia mementingkan kegiatan basketnya dibandingkan meluankan waktunya denganku. Dan malam ini aku bahagia, walaupun aku tidak jadi menonton film di bioskop namun setidaknya Satria datang menemuiku tidak terjadi apa-apa dengannya. 
Pagi ini Satria akan menjemputku untuk berangkat ke sekolah bersama-sama. Aku telah berdandan rapi dan menunggu Satria di teras rumahku. Akhirnya Satria pun datang dengan motornya. Sesampainya di sekolah, di parkiran aku merasakan pusing dan keluar darah dari hidungku Satria melihat kondisiku yang seperti itu lalu bertanya
“Za, kamu nggak papa? Kamu sakit iya? Kita ke UKS aja yuk?” penuh dengan rasa khawatir
“Enggak Sat, aku nggak sakit. Mungkin karena aku kelelahan aja kok” jawabku sambil tersenyum tipis
“Kelelahan karena nungguin aku 3 jam?”
 “Enggak Sat, aku kayak gini mungkin karena aku tadi bangun jam 3 pagi buat belajar karena pagi ini ada ulangan biologi, hhehehehe” sambil kuusap darah yang keluar dari hidungku menggunakan tissue. “Ayo jalan! Aku harus melanjutkan belajarku lagi” ajakku sambil tersenyum lebar ke Satria. Satria pun mengikuti langkahku menuju kelas. Kebetulan kelas kami berbeda hanya berselisih satu kelas saja.
Saat istirahat aku melihat Satria sedang bersenda gurau bersama Rena sahabatku dari kelas 3 SMP. Aku menyusul keberadaan mereka. Kulihat raut wajah Rena berubah ketika aku tiba-tiba berada disamping Satria, dia terlihat kesal dan akhirnya meninggalkan aku dan Satria.
“Kenapa dia Sat?” tanyaku
“Umm... nggak tau, mungkin lagi badmood” jawab Satria
“Tapi dia tadi kulihat lagi bercanda sama kamu ketawa-ketawa gitu? Apa aku ganggu kalian yang lagi bercanda makanya Rena kesal?”
“Enggak, sama sekali nggak ganggu kok. Malahan aku daritadi khawatir kenapa kamu daritadi nggak muncul-muncul. Terus tadi darahnya nggak keluar lagi kan dari hidungmu?”
“Enggak Sat, Cuma tadi pagi aja kok” jawabku sambil tersenyum manis padanya
Aku masih memikirkan kenapa raut muka Rena berubah tiba-tiba saat aku muncul di hadapan dia dan Satria.
“Aku nyusul Rena dulu yaa, takut terjadi apa-apa sama dia. Daah”pamitku Satria dan kulambaikan tanganku.
Dikelas aku menghampiri Rena yang sedang duduk sendirian dengan wajah badmood.
“Ren, kenapa kamu kok wajahmu badmood banget kayaknya?” tanyaku
“Nggak apa-apa” jawabnya ketus lalu meninggalkanku sendiri.
Aku semakin bingung apa yang dia rasakan saat ini.
Malam ini aku belajar seperti biasanya, namun kurasakan pusing yang sangat hebat dan darah dari hidungku keluar lagi. Tuhan, beri aku kekuatan dengan pemberian penyakitku saat ini. Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama hanya untuk bersama Satria. Sudah 2 tahun aku menderita kanker otak yang telah menemaniku saat ini. Hanya karena anugrah dari Tuhan lah aku bisa bertahan sampai 2 tahun ini, hanya Tuhan, aku, dokter dan perawatlah yang tahu aku menderita penyakit ini. Satria dan Rena pun tidak mengetahui hal ini. Malam ini ku putuskan untuk pergi ke dokter untuk memeriksakan penyakitku. Aku berjalan ke dokter, dengan pusing yang sangat kuat. Di jalan kulihat sosok Rena dan Satria sedang berada di dalam cafe sosok mereka terlihat jelas tertembus kaca bening yang menghadap terotoar yang aku lewati. aku menyusul mereka masuk ke dalam cafe, karena aku ingin bertemu dengan Rena. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka
“Sat, sampe kapan kita menyembunyikan hubungan kita selama 6 bulan ini?” tanya Rena
“Tunggu Ren, aku pengen mutusin Alza tapi aku nggak tega dia terlalu baik dan perasaan nya terlalu lembut” jawab Satria
“Apa karena saking sayangnya kamu sama Alza kamu nyampe nggak tega mutusin dia? Iya?”
“Aku sayang banget sama kamu Ren, rasa sayangku ke dia telah lama hilang dari 6 bulan yang lalu”
Sungguh, hancur perasaanku mendengar percakapan itu. Aku berjalan meninggalkan cafe tersebut dengan langkah gontai dan tatapan kosong. Kepalaku semakin pusing dan darah yang keluar dari hidungku semakin banyak, hingga akhirnya aku hilang kesadaranku. Saat ini aku merasakan kedamaian yang luar biasa, aku menemukan keindahan di tempat ini. Sejuk, penuh dengan bunga mawar putih di sekelilingku sesuai dengan bunga kesukaanku. Aku melupakan rasa sakitku karena Rena dan Satria, aku berjalan di taman ini yang sangat luas dengan bahagia aku dapat memetik bunga mawar putih dengan banyak. “bukankah indah tempat ini nak?” aku melihat mama menggunakan gaun putih bersih dan berjalan dengan anggun ke arahku “mama?” aku terkejut mama yang sudah 3 tahun yang lalu meninggal dunia sekarang dia berada di depanku saat ini. Aku berlari memeluk mama dengan erat.
“Ma, aku sangat merindukanmu”  mama membelai rambut panjang lurusku dengan lembut
“Iya sayang, mama juga sangat merindukanmu”
“Tempat ini indah sekali ma, aku merasakan kedamaian yang abadi disini. Apakah boleh aku tinggal di sini bersama mama?”
“Boleh sayang, mama nunggu kamu disini selalu nunggu kamu disini. Mama seneng kamu mau tinggal disini sama mama”
Senyuman mama masih sehangat dulu, ketika masih hidup. Kesadaranku kembali pulih, kulihat ada perawat, dokter dan Pandu di sampingku
“Pandu?” dengan nada terbata-bata
“Iya Za?, aku nemuin kamu di pinggir jalan tergeletak pingsan”
“Aku telah lelah oom Herman, aku ingin damai bersama mama disana” ucapku kepada dokter. Kebetulan dokterku adalah oomku yang telah merawat ku selama 2 tahun ini dan perawat ini adalah ibu nya Pandu yang selalu menemaniku dan mengingatkan ku untuk selalu minum obat. Pandu adalah temanku yang setia selalu menolongku dalam keadaan apapun.
“Sayaang, kamu harus kuat yaa. Kita melakukan kemoterapi lagi besok yaa, sekarang Alza istirahat dulu biar ditemenin Pandu disini” ucap oom Herman dengan lembut
Keesokkan harinya aku terbangun dengan disambut sarapan pagi yang telah disiapkan Pandu untukku.
“Selamat pagi Za” ucapnya sambil tersenyum hangat
“Selamat pagi Ndu” jawabku dengan nada lemah
“Aku pengen berangkat sekolah” sambungku
“Jangan Za, kamu masih sakit”
“Aku mohon Ndu, aku Cuma mau ini, aku cuma pengen berangkat sekolah” mohonku
Pandu keluar dan memanggil oom Herman
“Yaudah, kalo Alza pengen berangkat sekolah nggak papa tapi Alza di temenin Pandu terus yaa, nggak boleh ngeyel kalo dibilangin sama Pandu. Oke?” kata oom Herman
“Iyaa oom”
Aku berangkat ke sekolah bersama Pandu. Namun, tak kulihat Satria maupun Rena di sekolah. Aku pun mengajak Pandu ke taman belakang sekolah, disanalah tempat favorit ku bersama Satria, sering ku habiskan waktu bersama Satria di taman itu. Sesampai di taman aku melihat Rena dan Satria di bawah pohon sedang berpelukkan. Aku menghampiri mereka
“Rena? Satria?”
Rena dan Satria pun cepat-cepat melepaskan pelukkannya saat melihatku berada di dekat mereka
“Ummm... Za, aku bisa jelasin kok” kata Satria terbata-bata
“Aku udah tau kok, ada apa diantara kalian. Satria, kamu bisa kan mencintai dan menjaga Rena dengan baik? Dan kamu Rena, kamu bisa kan setia dan mencintai Satria? Sebelum aku pergi aku nggak akan minta apa-apa dari kalian. Satria, aku sangat mencintai mu dari dulu, sekaranng bahkan selamanya. Aku sadar aku nggak bisa menemani mu sampai kita tua nanti. Cukup sampai disini aku menemanimu. Satria, aku mohon jadikan aku yang terakhir sebagai yang kamu selingkuhin, cukup aku yang sakit karena perlakuanmu. Jangan Rena, karena Rena sahabat yang paling aku sayangi. Kamu bisa kan turutin permintaanku?”
“Alza? Kamu terlalu baik buat aku, aku yang bodoh tidak bisa memberikan cintaku seutuhnya hanya untukmu. Maafin aku Za”
“Aku mencintaimu dari dulu, sekarang dan selamanya Sat” ucapku penuh senyuman hangat dan manis untuknya
Sudah tak kuat lagi aku menahan lelah ini. Tuhan, saatnyalah kau ambil jiwa ini kembali padaMu. Telah kurelakan hati, cinta dan perasaan ini untuk Satria. Aku pun memejamkan mataku dengan tenang, untuk pertama kalinya aku bisa tidur dengan tenang dan perasaan damai menyertaiku. Terimakasih Tuhan, telah kau kirimkan Satria yang bisa menemaniku selama ini. Permintaan terakhirku ke Pandu adalah “jangan menceritakan penyakitku selama ini ke Satria maupun Rena. Biarkan mereka bahagia tanpa rasa bersalah menyelimuti mereka”. Aku menyusul mama ke taman yang penuh dengan kedamaian dan kesejukkan hati.
-Rusyda Faza Wulaningrum-





  

0 komentar:

Posting Komentar