Halte
di Tengah Hujan
Rusyda
Faza Wulaningrum (XI IPA 3)
Hujan mengguyur tempat ini sudah hampir 3 jam. Dan
aku sangat menikmati itu. Suara gaduh air
hujan yang berlomba-lomba untuk segera menyentuh tanah pun sangat
menenangkan hatiku yang sedang kacau. Halte ini, ya halte ini. Halte yang sepi
namun ramai akan kisahku yang penuh luka. Halte ini lah saksi dari tangisanku
yang terusap oleh air hujan. Aku bahkan dapat menghabiskan waktu di tempat ini
walaupun hanya sekedar duduk, menikmati siang yang panas matahari nya menyengat
kulit bahkan sore hari ditemani oleh air hujan maupun senja yang indah. Aroma
air hujan sore itu yang menyentuh tanah setelah tidak tersentuh air hujan
selama hampir 6 bulan sangat ku nikmati. Hujan di sore ini, mengguyur tepat waktu pada
tanggal yang sama dan waktu yang sama seperti 2 tahun yang lalu. Tepat sudah 2
tahun aku menunggu dia, di tempat ini. Hanya sebuah halte yang besi penyangga
pelindung dari panas terik matahari dan derasnya air hujan yang mulai dilumuti
karat di sekitar besi penyangga tersebut. Ya, hanya sebuah halte. Halte tempat
dimana aku berlari ketika aku sangat merindukan dia. Halte dimana tempat aku
menunggu kedatangan dia. Dia, dia dan dia. Dia yang selalu mengisi penuh hati
dan pikiranku selama hampir 7 tahun. Dia yang memiliki hati yang hangat di sela
sikapnya yang dingin. Di mataku, dia adalah satu-satu nya. Satu-satu nya lelaki
yang senyumannya dapat mendinginkan hati ku ketika aku marah. Satu-satu nya
lelaki yang bersikap dingin kepada siapapun namun memiliki hati yang hangat
ketika meluapkan kasih sayang kepada siapapun yang ia kasihi. Lelaki yang jalan
pikirannya sama sekali tak ku mengerti, namun dia memiliki jalan pemikiran yang
luar biasa tentang hidup ini. Aku tak dapat mengungkapkan lagi dengan kata-kata
betapa istimewanya dia di hati ku. Ya, hatiku yang mudah rapuh ini menjadi kuat
karena keyakinan yang dia berikan kepada ku. Keyakinan bahwa kita dapat bertemu
kembali di tempat ini ntah kapan takdir itu berpihak. Tapi keyakinan ku sudah
sangat kuat, untuk dapat bertemu kembali dengan dia di tempat ini. Hujan di
sore ini sudah cukup reda walaupun masih ada rintik-rintik air yang tersisa.
Aku pun berjalan pulang “Mungkin bukan hari ini” kalimat itu yang selalu aku
katakan dalam hati ketika aku tidak dapat
menemuinya. Hanya harapan, demi harapan bahkan seperti ratusan harapan
yang terbungkus menjadi satu untuk ku kirimkan padanya. Tidak, jika aku dapat mengirimkan bungkusan-bungkusan
rindu dan secangkir harapan untuk dikirimkan padanya sebagai asupan setiap
harinya agar dia menyadari bahwa aku sangat merindukan dan mengharapkannya.
Inilah aku dan segala rindu dan harapanku, aku adalah Shenna. Aku yang di
sela-sela kesibukkanku masih dapat merasakan hebatnya rindu. Aku yang di tengah
pejaman mata dan sejumlah kalimat doa yang terucap, selalu tetap menyelipkan segenggam
doa, rindu dan pengharapan ku untuknya. Aku yang setiap ku tulis cerita
terangkai kalimat rindu ku hanya untuk dia. Rindu ini tidak menyiksa, bahkan
rindu ini tidak membuat aku menjadi lemah. Bahkan rindu inilah yang membuat aku
memiliki keyakinan yang kuat. Dan rindu ini pula yang membuat aku semakin
semangat menjalani hari-hari ku tanpa nya.
Aku tak tahu, apa alasan ku untuk tetap menunggu nya dan tetap
merindukannya. Tapi satu hal yang pasti, aku benar-benar menyayanginya. Walaupun mungkin dia sudah bahagia dengan yang lain,
itu sama sekali tak membuat ku menyesal telah menunggu, merindukan dan
mengharapkannya. Setidaknya aku dapat bertemu dan meyaksikan kebahagiaan nya.
Tapi aku tak munafik, aku tetap berharap bahwa dia akan tetap bersanding
denganku di suatu saat nanti.
“Masuklah nak, nanti kau masuk angin” Kata-kata ibu
membuyarkan lamunanku di malam ini
“Iya bu” Jawabku. Aku masuk kedalam rumah . Lalu aku
membuka laptop. Aku hanya dapat termenung di depan laptop yang gambar desktop
nya terpampang jelas foto ku dengan dia. Kami berfoto sehari sebelum dia pergi.
Entah mengapa, semakin hari rindu yang hebat semakin menyertai ku seperti
hamparan tanah tandus yang haus akan hujan.
Tapi aku munafik, aku selalu mengatakan kepada
sahabat ku bahwa ku telah melupakannya. Melupakan cita-cita yang telah kami
impikan. Merobohkan cinta dan kasih yang telah kita bangun selama hampir 5
tahun, dan 2 tahun sudah aku menunggunya. Siang ini hujan. Aku beristirahat di
kafe seberang halte. Aku menyeruput secangkir kopi yang dan duduk tenang setelah
memeriksa pasien ku tadi. Aku Shenna dan aku seorang dokter. Dokter merupakan
bukan cita-cita ku. Tapi ini adalah cita-cita ayahku, ayahku yang mendorongku
hingga aku masuk di perguruan tinggi negri fakultas kedokteran. Pada akhirnya
aku menjadi dokter, Sedikit terpaksa, namun kini aku menjadi orang yang berguna
untuk orang lain. Namun, aku belum berguna untuk diriku sendiri. Aku yang masih
menyiksa diriku sendiri dengan setumpuk harapan. Tidak. Aku tidak menyiksa
diriku ini, aku bahagia aku bahagia diatas tandus dan keringnya hati yang haus
akan kasih sayangnya. Aku mungkin nekat. Nekat sejauh ini menunggu nya selama
ini.
Hembusan angin ini sangat kencang, hingga membuat
aku terbangun dari tempat dudukku di café ini. Entah mengapa aku merasa ada
hembusan angin , diantara angin itu ada sosok yang berdiri tegak membawa
tulisan bertuliskan “Ini aku” aku membaca nya dengan seksama dia membalik
lembaran itu dan lembaran itu bertuliskan
“Ini aku yang kamu tunggu” dia membaliknya lembaran itu lagi “aku
disana” dia membaliknya lagi “mengejar angan”
lalu “mempertahankan cintaku” . Dia lalu menutup lembaran kertas
itu lalu memegang tanganku “Ini aku
Raihan, yang kamu tunggu selama ini”
Aku tak kuasa menahan tangis ku. Tangisku pun pecah
memeluknya dengan erat. Ini dia hujanku, hujan yang siap menghujani hatiku yang
kering. Aku melepaskan pelukkanku. Diapun mengusap air mata ku.
“Bersamakulah, dari sekarang hingga esok” Ucap dia
Sudah tidak bisa lagi kuucapkan kata. Kata indah pun
tak bisa kuucapkan lagi. Aku hanya dapat tersenyum sambil mengangguk.
Ini Reihan yang aku tunggu. Yang aku sayang yang aku
tunggu selama ini. Kini dia telah menjadi lelaki dewasa yang baru saja
menyelesaikan pendidikan terakhirnya dan dia yang akan menjadi imamku nanti.
Penantianku telah berbuah manis, tinggal aku dan
Reihan yang akan mencicipi kemanisannya tersebut. Halte di tengah hujan ini
menjadi saksi dimana aku menunggu dan dimana aku dipertemukan.